Langsung ke konten utama

Terbayarnya Sebuah Nyawa


            Di suatu kamar ia termenung seorang diri, tatapannya menuju ke luar jendela dan pandangannya kosong. Setiap hari Bik Sumi selalu mengantarkan makanan dan menyiapkan segala keperluannya. Sejak kejadian tiga tahun silam sifatnya berubah drastis, sekarang ia menjadi lebih pendiam, bicara hanya seperlunya. Tak hanya itu, sifat psikologisnya pun juga ikut berubah. Siapa pun laki-laki yang mencoba mencaci atau berbuat kasar terhadapnya akan ia siksa dengan cara tak manusiawi.

“Bik, saya keluar dulu. Kamu jaga rumah baik-baik ya.” Ujarnya kepada asisten rumah tangganya. Namanya Arindi, Janda 30 tahun yang ditinggal mati suaminya karena dibunuh sekelompok rampok masa itu. Sejak saat itu dalam dirinya tumbuh dendam kesumat dan ia berjanji akan membayar nyawa suaminya itu, meski ia belum tahu pasti siapa pelakunya. Namun karena bantuan teman-temannya dan beberapa orang pintar sedikit banyak telah ia temukan lokasi tempat tinggal dan identitas lainnya.

Di perjalanan dia telah memikirkan rencana jahatnya, ia tersenyum dan tertawa karena sebentar lagi pelaku yang membuatnya menderita akan segera lenyap di tangannya sndiri dan dengan caranya.

“Hai, Rin. Bagaimana rencana kamu selanjutnya?” tanya Susi yang merupakan teman lamanya dan dia yang membantu Arindi mencari informasi pelaku.

“Aku sudah susun semua rencana dengan rapi, malam ini akan kupancing dia ke suatu Hotel dan setelah itu aku akan menjalankan aksiku. Kamu siap jadi patnerku?” tanya Arindi kepada Susi untuk meyakinkannya. Karena mendapat tanggapan yang baik Arindi pun tersenyum gembira dan sore itu mereka menuju hotel dan mempersiapkan segala sesuatunya.

            Malam tiba, bintang-bintang di langit terlihat indah di mata Arindi, ia menatap langit dan tersenyum seakan-akan tengah bertatap muka dengan suaminya. Kamu sabar ya, Mas. Sebentar lagi yang membuat kita berpisah akan lenyap di tanganku, malam ini juga. Batinnya.

Di Kamar nomor 305 Arindi telah duduk manis di tepi ranjang, sedangkan Susi berada di kamar mandi menunggu perintah dari Arindi. Sesekali ia cek hp dan ternyata mangsa yang dinanti telah sampai di lobi hotel. Iya, Mas. Langsung saja ke kamar 305. Arindi membalas pesan mangsanya dengan geram. Lihat saja kau, kusiksa kau malam ini. Batinnya.

Klekk! Suara pintu yang terbuka. Wajah lelaki itu tampak sumringah dengan rambut gondrong sedikit dikucir dan kumis tebal membuat Arindi jijik, di dalam hati ia terus ngedumel [1]melihat lelaki itu. “Hahaha .... Apa kabar, Cantik. Hahaha .... kamu kesepian ya? Ayo sini akang temani.”  Arindi tak bergeming sama sekali dari ranjangnya, ia hanya menatap laki-laki itu seperti macan yang tak sabar ingin menerkam. Ketika lelaki itu hendak mencium Arindi, dengan sigap ia menarik dan membanting lelaki itu ke ranjang dan dengan cepat Susi muncul dan mengikat kedua tangan dan kaki lelaki itu.

“Hei! Apa maksudmu!?”

Lelaki itu memberontak sekuat tenaga ia mencoba melepas ikatannya. Namun sia-sia, ikatan yang di tangannya terlalu kuat untuk dia lawan, semakin melawan semakin panas pergelangan tangannya. Ia terus meronta-ronta. Karena merasa terganggu Arindi pun menyumpal mulut laki-laki itu dengan kaus kaki yang dikenakannya. Sekarang ia puas karena musuhnya telah berada digenggamannya dan tak lama lagi siksaan pedih akan ia rasakan.

“Sekarang giliranmu laki-laki keji!” teriak Arindi tepat di depan muka musuhnya. Dan dia berjalan menuju meja kecil yang di atasnya tergeletak sebilah pisau, kemudian dia ambil pisau itu. Laki-laki itu nampak ketakutan, ia berontak. Tapi naas, tak ada seorang pun yang bisa menolongnya. Dengan kekuatan penuh Arindi menancapkan pisau itu ke perut lelaki itu. Satu tusukan ia cabut kembali lalu ia tancapkan lagi, begitu terus hingga dua puluh kali tusukan. Sampai tangan, baju dan lantai kamar rata dengan darah.

            Merasa puas, Arindi dan Susi bergegas berganti pakaian dan meninggalkan kamar hotel dengan cepat. Tidak lupa ia membungkus sebilah pisau yang ia gunakan dan memasukkannya ke dalam tasnya. Jasad lelaki itu dibungkus sprei kasur dan ditinggalkannya begitu saja. Senyum kepuasan terukir di bibir manisnya. Sekarang tidak ada lagi yang membuatnya menderita. Semua telah terbayarkan. Lunas. [.]



[1] mengomel



Komentar

Posting Komentar